Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Anindya Novyan Bakrie mengungkapkan, perang dagang (trade war) Amerika Serikat (AS) dengan China dan negara-negara lainnya bisa mendatangkan peluang tersendiri bagi perekonomian Indonesia.
Menurut Anindya Bakrie, Indonesia bisa meningkatkan ekspor sejumlah komoditas ke AS yang selama ini dipasok China, misalnya mineral langka atau mineral kritis.
“Amerika itu kan butuh mineral kritis dari kita, itu bisa menjadi pintu masuknya,” kata Anindya usai menjadi pembicara utama pada Mayapada Group Executive Gathering 2025 di Mayapada Tower 2 Jakarta, Selasa (4/2/2025).
Ketum Kadin mengakui, Indonesia dan AS belum memiliki perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement/FTA). “Tapi hal itu bisa menjadi suatu kemungkinan karena Presiden Donald Trump kan menghargai bilateral trade,” ujar dia.
Peluang-peluang tersebut, kata Anindya Bakrie, bisa diambil Indonesia di tengah perang dagang China dengan AS. Perang dagang berpotensi menekan perekonomian kedua negara tersebut.
Anindya menambahkan, di tengah perlambatan ekonomi dunia, Indonesia bersama India bisa menjadi sumber pertumbuhan baru. “Waktu di Davos dikatakan bahwa mereka (direktur World Economic Forum) mencari growth story baru,” tutur Anindya, merujuk pada peluang Indonesia dan India menjadi negara Asia dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Bank Dunia memperkirakan ekonomi China tumbuh 4,5% pada 2025. Sedangkan ekonomi AS masih tumbuh di kisaran 2,3% hingga akhir 2024, yang masih di bawah rata-rata dunia sekitar 3%.
Di sisi lain, Indonesia dan India cenderung stabil mencetak pertumbuhan ekonomi di kisaran 5%. “Jadi, mereka (WEF) berpikir, ini bisa menjadi penopang pertumbuhan di dunia. Tetapi tentu kita mempunyai target sendiri, bukan hanya tumbuh, tapi tumbuh dengan inklusivitas,” tandas Anindya Bakrie.
Anin menegaskan, kehati-hatian dalam mendorong pertumbuhan ekonomi sangat diperlukan agar kesenjangan sosial tidak melebar. Hal ini penting bagi negara demokrasi seperti Indonesia.
Anindya menjelaskan, pengalaman Indonesia melewati sejumlah krisis, yaitu krisis moneter 1998, krisis finansial global 2008, dan krisis akibat pandemi Covid-19 pada 2020 cukup memberi banyak pelajaran untuk bangkit dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara hati-hati.
Bahas Bisnis AI
Dalam acara Mayapada Group Executive Gathering 2025, Ketua Umum Kadin Indonesia, Anindya Bakrie dan jajaran eksekutif Mayapada Group membahas peluang bisnis kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).
“Hari ini saya diundang sebagai pembicara, tetapi saya juga diberi kesempatan untuk duduk mendengarkan, bagaimana perusahaan ini berpikir tentang teknologi, seperti AI bisa membantu grup ini untuk berkembang,” kata Anindya.
Pimpinan Mayapada, menurut Anindya, merupakan anggota Kadin yang berpikir progresif, selain giat berkolaborasi dan bersinergi dengan anggota Kadin lainnya.
“Sebagai perusahaan yang tergolong defensif, Mayapada adalah korporasi yang sangat menarik untuk masa depan karena mengarungi bidang kesehatan, asuransi, hingga perbankan,” papar dia.
Anindya yakin, dengan berbisnis di bidang-bidang yang menjadi kebutuhan utama masyarakat, Mayapada juga bisa membuka banyak lapangan kerja, seiring perkembangan perusahaan.
Sementara itu, Komisaris Utama Mayapada Hospital atau PT Sejahteraraya Anugrahjaya Tbk (SRAJ), Jonathan Tahir mengungkapkan, kolaborasi sudah menjadi kebutuhan dasar perusahaan.
“Pada prinsipnya, kolaborasi itu bukan sebuah kemewahan atau hal yang mungkin tidak kita butuhkan. Kolaborasi adalah sebuah kebutuhan dasar,” ujar Jonathan Tahir.
Hal itu, menurut Jonathan, terjadi karena zaman telah berubah begitu cepat dan menciptakan kompetisi yang lebih ketat. “Bila suatu perusahaan tidak banyak melakukan kolaborasi atau hanya diam, perusahaan tersebut akan ketinggalan oleh pergerakan zaman,” tutur dia.
Sinergi dan Kolaborasi
Jonathan Tahir mencontohkan salah satu produsen chip kecerdasan buatan (AI) terbesar di dunia asal AS, Nvidia, yang valuasinya turun sekitar 20% gara-gara produsen chip AI asal China, DeepSeek, meluncurkan model AI open-source yang diklaim dapat dikembangkan dalam waktu singkat dengan biaya jauh lebih rendah.
“Dengan fakta tersebut, banyak perusahaan yang harusnya sadar bahwa kompetisi di era sekarang menjadi lebih berat dan kompetitor bisa datang dari mana saja. Belum lagi, daya beli masyarakat sedang menurun di tengah ketidakpastian global,” papar dia.
Jonathan menjelaskan, berdasarkan tantangan-tantangan yang saat ini muncul, jawaban paling konkret adalah sinergi dan kolaborasi. Keduanya justru akan menjadi keunggulan kompetitif (competitive advantage) suatu perusahaan.
“Keinginan para pasien atau konsumen berubah setiap hari, maka kita harus bisa berubah lebih cepat lagi,” tandas dia.
Jonathan menambahkan, setiap perusahaan dari grup besar mana pun harus benar-benar berusaha melakukan yang terbaik sebagai perusahaan, bukan sebagai pribadi. Pola pikir yang benar adalah maju dan sukses bersama.
“Jangan cepat puas dengan sebatas menjadi perusahaan paling menguntungkan di dalam grup, melainkan harus berpikir bagaimana sukses bersama-sama dengan perusahaan afiliasi lain. Saya selalu suka dengan pribadi Amerika, you’re only as strong as your weakest link,” tutur dia.
Menurut Jonathan, cara-cara itulah yang membuat Mayapada bisa maju dan bersaing dengan perusahaan lain. “Kunci keberhasilan menjalankan perusahaan adalah jangan takut bertanya. Siapa pun dengan jabatan apa pun boleh bertanya, tanpa khawatir dipertanyakan kemampuannya, sekalipun yang bertanya adalah seorang pemimpin,” ujar dia.