Di tengah ketidakpastian global akibat perang dagang dan gejolak ekonomi internasional, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Anindya Novyan Bakrie, menyatakan keyakinannya bahwa Indonesia siap untuk bersaing di kancah global.
Dalam Acara HSBC Summit 2025 Panel Discussion bertema Reimagining Indonesia’s Global Competitiveness yang berlangsung di The Ritz Carlton SCBD, Jakarta, pada Selasa (22/04/2025), Anin panggilan akrabnya menekankan pentingnya ketenangan, konsistensi kebijakan, serta strategi ekonomi yang menyeluruh dan berkelanjutan.
“Saya rasa kita sangat siap (bersaing di kancah global). Kita mesti stay calm, stick with the plan, dan enjoy the ride,” ujar Anin.
Ia menyampaikan bahwa dampak langsung dari perang tarif antara Amerika Serikat (AS) dan negara-negara lain terhadap Indonesia tidak sebesar yang digambarkan di media.
“Kalau kita lihat ya, bahwa dampak daripada perang tarif dengan Amerika (Serikat) ini tidak sebesar yang banyak didengungkan di media,” kata Anin.
Namun demikian, Anin menekankan pentingnya terus mengantisipasi dinamika tersebut dengan kebijakan dan kerja sama strategis.
Dalam waktu dekat, Kadin Indonesia dijadwalkan melakukan kunjungan ke Amerika Serikat guna melanjutkan negosiasi terkait relokasi impor migas senilai 40 miliar dolar AS yang diharapkan dapat menjembatani surplus perdagangan Indonesia sebesar 18 miliar dolar AS.
“Kami dari Chambers of Commerce and Industry (Kadin), nanti seminggu lagi akan ke Amerika untuk melanjutkan negosiasi yang sudah berlangsung baik antara pemerintah AS dan Indonesia (sebelumnya). Intinya di sana kita mencari tanda kutip, lawan main atau sparing partner,” terang Anin.
“Karena setelah perang dagang ini ditemukan obatnya, yang saya rasa kalau ke Amerika (Serikat) itu merelokasi impor daripada migas yang 40 miliar dolar AS untuk bisa menjembatani 18 miliar dolar AS yang surplus itu. Nah setelah itu semua dilakukan, artinya tarif akan kembali senormal mungkin, Pasti akan ada increase paling tidak 10 persen. Tapi ini membuka peluang ekspor kita seperti elektronik, footwear, dan apparel untuk tumbuh lebih besar,” lanjutnya.
Lebih lanjut, Anin juga menekankan pentingnya penguatan ekonomi domestik sebagai fondasi pertumbuhan nasional.
Dengan konsumsi domestik yang menyumbang sekitar 55-60 persen dari PDB, menurutnya, Indonesia memiliki daya tahan yang kuat terhadap guncangan eksternal. Namun, ia mengingatkan bahwa tantangan tetap ada, termasuk ancaman terhadap 2,1 juta pekerja yang berisiko terdampak perang dagang.
“Kita punya konsumsi domestik ini kan 55-60 persen, yang artinya cukup resilien. Nah, tapi konsumsi domestik ini juga mesti dikembangkan, karena kita tidak menafikan efek daripada perang dagang ini, walaupun kita bilang hanya 9-10 persen, tapi ada 2,1 juta pekerja yang at-risk kalau misalnya ada apa-apa. Dan ini cukup besar. Kenapa? Karena setiap tahun untuk kita memaintain 5-6% persen pertumbuhan dibutuhkan, ya tadi 2-3 juta. Jadi kalau 2 juta ada apa-apa itu berat. Jadi domestic consumption dan juga domestic economy harus ditingkatkan,” jelas Anin.
Dipaparkan Anin, program pemerintah seperti Makanan Bergizi Gratis (MBG), Pemeriksaan Kesehatan Gratis (PKG), dan Rumah Layak Huni disebutnya sebagai upaya konkret mendorong pemerataan dan memperkuat konsumsi dalam negeri.
Ia juga menyoroti potensi besar dari tenaga kerja migran Indonesia (PMI.
“Satu lagi yang saya ingin highlight adalah tenaga kerja migran. Mungkin teman-teman sudah tahu bahwa tenaga kerja migran kita ini ada 5 juta orang dan yang banyak itu domestic workers. Dan 5 juta PMI ini menghasilkan sekitar Rp250 triliun. Nah ini angka besar sekali. Bisa bayangkan kalau misalnya permintaan yang masih banyak di luar kita bisa berikan, dan bukan hanya domestic workers, tapi juga upskill workers, ini jumlahnya sangat besar untuk kita meningkatkan devisa. Jadi sekali lagi, satu kita harus fokus kepada kita menjaga bahkan mengembangkan domestic economy,” tutur Anin.
Perluasan Pasar Ekspor
Selain memperkuat pasar domestik, Anin menyebut pentingnya membuka dan mengembangkan pasar baru. Ia menyampaikan pengalaman Kadin Indonesia dalam mendampingi kunjungan kenegaraan Presiden ke Turki, Qatar, India, dan Brazil sebagai bentuk nyata dari strategi diversifikasi pasar ekspor.
“Di Qatar, mereka berkomitmen menaruh 2 miliar dolar AS, ditambah 2 miliar dolar AS dari kita untuk membentuk sub-fund. Ini bisa menjadi efek bola salju yang positif,” katanya.
Di sektor pertanian dan perikanan, Indonesia kata Anin juga tengah belajar dari India dan Vietnam.
Salah satu peluang besar, menurut Anin, adalah pengembangan budidaya lobster di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang bisa dikembangkan bersama mitra internasional untuk ekspor ke pasar global, terutama AS.
Mengangkat contoh NTT, Anin menunjukkan bagaimana perbedaan besar antara nilai konsumsi dan produksi daerah menjadi peluang bagi pembangunan ekonomi regional. Dengan total konsumsi mencapai Rp59 triliun dan produksi hanya Rp7 triliun, ada potensi besar untuk memperkuat produksi lokal, khususnya di sektor perikanan.
“Kalau kita bisa membuat satu provinsi saja jadi mandiri, efeknya besar. Saya yakin NTT punya masa depan cerah di sektor fisheries (perikanan),” ujarnya.
Anin menambahkan, pembangunan berkelanjutan berbasis pangan akan lebih tahan lama dibandingkan hilirisasi sumber daya alam yang terbatas. Dengan pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen, inflasi yang rendah, dan cadangan devisa sebesar 150 miliar dolar AS, Indonesia berada pada posisi yang lebih baik dari yang terlihat.
“Saya rasa sekarang saatnya carefully and selectively invest, terutama di sektor yang menguatkan konsumsi domestik dan membuka pasar baru untuk ekspor,” kata Anin.
Anin juga menyampaikan visinya terhadap posisi Indonesia di dunia yaitu sebagai lumbung pangan global. Ia menilai bahwa transformasi sektor pertanian, peternakan, dan perikanan dengan dukungan teknologi seperti AI dan big data menjadikan ambisi ini bukan sekadar wacana.
“Jadi bagaimana Indonesia ini bukan saja menjadi swasembada, tapi lumbung pangan dunia. Dan ini saatnya tepat dan bisa menyambungkan diskusi kita hari ini. Kenapa? Satu, pemerintah itu dengan MBG ini mengeluarkan Rp70 triliun plus Rp171 triliun atau 12 miliar dolar AS. Artinya setiap hari dibutuhkan 80 juta telur, ada 80 juta drumstick dan lain-lain. Tapi jangan dilihat ujungnya, di belakang itu terjadi hilirisasi yang luar biasa. Untuk beras, untuk kita bicara jagung, cabai,” kata Anin.
“Nah ini sekarang sangat modern penjalanannya. Jadi bukan saja kita bicara petani yang kita tahu selama ini, dari jaman kemerdekaan atau jaman perkembangan di jaman orde baru. Tapi sekarang AI, digital, big data, quantum computing sangat bisa digunakan. Jadi kalau satu kalimat iyalah modern agriculture to make Indonesia the global food hub. Jadi kan selama ini kita kan bicara about downstreaming of critical minerals. Tapi yang akan lebih sustainable. Karena kan critical minerals by nature pastinya terbatas, akan habis gitu. Tapi kalau misalnya peternakan, lalu juga petanian, dan juga perikanan tentu itu lebih berkelanjutan dan sustainable,” tutupnya.