Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Anindya Novyan Bakrie, menyampaikan seruan penting kepada asosiasi dan Kadin provinsi untuk memikirkan strategi nasional dalam menghadapi dampak dari potensi kebijakan “Trump 2.0” serta dinamika perang dagang global.
Hal ini disampaikan Anin sapaan akrabnya, dalam acara halalbihalal dan silaturahmi dengan Asosiasi, Himpunan, dan Anggota Luar Biasa (ALB) Kadin Indonesia di Balai Sudirman, Jakarta Selatan, Jumat (25/04/2025).
“Sekarang, kita harus memikirkan solusi bangsa di tengah kondisi global. Ini bukan hanya soal Indonesia dan Amerika (Serikat), atau Amerika (Serikat) dan Tiongkok (China), tapi bagaimana kita bisa jadi pemenang dalam perang dagang ini,” ujar Anin.
Anin menekankan pentingnya kesiapan Indonesia dalam menyambut peluang yang timbul dari perubahan tatanan perdagangan internasional.
Anin mengungkapkan bahwa dirinya bersama Dewan Penasihat Kadin Indonesia akan melakukan kunjungan ke Amerika Serikat (AS) untuk membahas tiga agenda utama: transisi energi, kerja sama dengan U.S. Chamber of Commerce, serta promosi investasi dalam forum finansial Milken Institute 2025 Global Conference di Los Angeles.
“Kami ingin menyampaikan bahwa Kadin Indonesia serius dalam berdagang, tapi tentu juga ingin untung,” tegas Anin.
Khusus dalam pertemuannya dengan U.S. Chamber of Commerce di Washington DC, Anin menyebutkan bahwa Kadin Indonesia telah berkoordinasi dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan kementerian terkait untuk mendukung kesepakatan dagang bilateral yang ditargetkan tercapai dalam 60 hari.
Indonesia, menurut Anin, memiliki neraca dagang positif senilai 18 miliar dolar AS terhadap AS, sementara impor migas mencapai 40 miliar dolar AS. Pemerintah tengah mengupayakan relokasi dagang agar hubungan dagang menjadi lebih seimbang.
“Kami juga butuh masukan dari asosiasi dan Kadin daerah, supaya nanti mitra dagangnya di Amerika (Serikat). Kalau sudah balance, kita bisa ekspor lebih banyak lagi, mulai dari alas kaki, elektronik, sampai garmen,” terang Anin.
Lebih lanjut, Anin menyoroti pendekatan bilateral yang kini semakin menonjol dalam perdagangan global, yang ia gambarkan sebagai “dagang ala Glodok”, merujuk pada gaya negosiasi langsung dan praktis, ketimbang multilateral.
“Jadi kita lihat memang cara berdagang bilateral ini benar-benar kayak orang bilang pedagang Glodok. Nah, tidak ada yang masalah dengan pedagang Glodok, tapi ternyata di level dunia pun ini yang lagi dipakai lebih daripada multilateral yang biasa dilakukan,” tutur Anin.
Anin juga menekankan perlunya Indonesia melakukan penyesuaian terhadap regulasi, terutama terkait Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan kebijakan kuota.
“Kita tidak ingin terjadi deindustrialisasi, tapi justru industrialisasi yang punya nilai tambah. Itulah yang sekarang disebut dengan hidirisasi,” jelas Anin.
Anin juga menggarisbawahi potensi besar Indonesia dalam transisi energi berkat kekayaan sumber daya alamnya, mulai dari mineral kritis hingga potensi energi terbarukan seperti surya, air, angin, dan panas bumi.
Lebih jauh, dalam kesempatan yang sama, Anin turut menyinggung potensi pasar baru seperti Turki dan Uni Eropa.
Anin menyebutkan bahwa kunjungan Presiden Turki (Recep Tayyip Erdogan) ke Indonesia telah membuka jalan bagi perjanjian dagang baru yang dinilai dapat memberi manfaat besar bagi pelaku usaha nasional, termasuk ekspor komoditas seperti kopi, foodware, dan minyak sawit.
“Tadi saya dengar juga Pak Presiden (Prancis) Macron akan datang akhir Mei. Ini sinyal positif. Tapi perjanjian dagang saja tidak cukup kalau asosiasi dan Kadin daerah tidak memanfaatkannya,” ucap Anin.
Anin juga mengingatkan pentingnya kolaborasi erat antara pemerintah dan pelaku usaha. Anin juga menyoroti peluang yang muncul dari relokasi kapasitas industri China akibat tekanan perang dagang dengan AS.
“Trump 1.0 dimenangkan Vietnam dan Malaysia. Trump 2.0 bisa jadi giliran kita. Kalau kita pandai, kita bisa menyalip di tikungan,” tandas Anin.