JAKARTA, – Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Anindya Novyan Bakrie mengungkapkan, Indonesia perlu mengantisipasi kebijakan proteksionisme yang kemungkinan diterapkan Presiden AS, Donald Trump, salah satunya berupa tarif impor yang tinggi.
“Kayaknya penerapan tarif impor yang tinggi oleh pemerintah AS tidak bisa dicegah,” kata Anindya, usai menghadiri Indonesia-Europe Investment Summit 2024, di kantor Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM, Jakarta, Senin (9/12/2024).
Saat menjabat sebagai presiden AS pada periode pertamanya (2017-2021), Donald Trump kerap menerapkan kebijakan proteksionisme dan unilateralisme, di antaranya menerapkan tarif bea masuk (BM) tinggi dan pembatasan sepihak terhadap produk-produk impor untuk memproteksi pasar dan industri dalam negeri AS.
Karena itu pula, masyarakat internasional memperkirakan Trump pada periode keduanya sebagai Presiden AS (2025-2029) akan kembali bersikap protektif, sehingga produk-produk dari negara lain tidak bisa sembarangan masuk ke Negeri Paman Sam.
Anindya Bakrie mengapresiasi upaya pemerintah memperkuat kerja sama perdagangan dan investasi dengan negara-negara mitra, khususnya Kanada, Uni Emirate Arab (UEA), Jepang, dan Australia.
“Selama 2,5 pekan terakhir, pemerintah terus mengoptimalkan kerja sama Global South. Penguatan kerja sama dengan negara-negara Amerika Latin dan Timur Tengah itu penting. Tapi dengan Eropa ini strategis, meski tidak gampang,” tutur dia.
Anindya menjelaskan, membuka perdagangan bebas dengan Eropa perlu perhatian khusus. Soalnya, Eropa merupakan pasar yang besar, dengan nilai perdagangan US$ 17 triliun.
Sebelumnya, Ketum Kadin Anindya Bakrie mengungkapkan, sikap protektif Donald Trump bisa mendatangkan kerugian dan keuntungan bagi negara-negara lain.
“Ada dua sisi, bisa mendatangkan kerugian, bisa pula mendatangkan keuntungan bagi negara-negara lain, termasuk Indonesia,” ujar Anin.
Salah satu kerugian yang bisa dialami Indonesia, kata Anindya, adalah sulitnya produk ekspor RI masuk ke AS. Demi melindungi pasar dan industri dalam negerinya, pemerintah AS bisa memberlakukan tarif BM yang tinggi atau menerapkan hambatan nontarif (nontariff barrier), misalnya dengan dalih standardisasi produk, lingkungan, hak atas kekayaan intelektual (HAKI), dan lain-lain.
“Nah, salah satu keuntungan yang bisa dinikmati Indonesia adalah terealisasinya berbagai perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement/FTA) secara bilateral yang prosesnya sempat tersendat,” papar dia.
Ketum Kadin Anindya mencontohkan, perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif antara Indonesia dan Kanada atau Indonesia–Canada Comprehensive Economic Partnership Agreement (ICA–CEPA) ditandatangani lebih cepat. Pemerintah Indonesia dan Kanada menandatangani ICA–CEPA pada Senin (2/12/2024).
“Ada manfaatnya juga nih ketika Amerika bilang proteksionisme. ICA-CEPA itu dua tahun jadi. Terbukalah kerja sama bilateral yang selama ini tersendat,” tegas Anindya.
Anindya Bakrie memprediksi AS akan memberikan ruang yang luas bagi sektor swasta domestiknya untuk menikmati pertumbuhan ekonomi, di antaranya lewat pemotongan pajak perusahaan.
“Kami perkirakan ekonomi AS ke depan semakin kuat. Pasar modalnya akan makin aktif dan nilai tukar dolar AS bisa makin kuat,” tutur dia.
Di pihak lain, menurut Anindya Bakrie, Indonesia juga memiliki potensi besar untuk meningkatkan ekspor ke negara-negara anggota BRICS, salah satunya Brasil, yang saat ini masih mengalami pelemahan nilai tukar terhadap dolar AS.
“Indonesia diperhitungkan sebagai negara yang memiliki fundamental ekonomi kuat dengan populasi besar. Ini penting untuk meyakinkan para investor dan mitra dagang kita,” tegas dia.
Sementara itu, Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam, Denis Chaibi mengatakan, jika pemerintah AS memberlakukan tarif impor tinggi, China yang merupakan eksportir terbesar di dunia bakal mengalihkan pasar ekspornya ke negara-negara lain, termasuk Eropa dan Indonesia.
“Kita mungkin akan merasakan dampak dari tekanan AS terhadap China, karena China kemungkinan akan mencoba menjual lebih banyak produknya ke Eropa dan Indonesia,” ujar dia.
Itu sebabnya, kata Denis, Indonesia perlu segera mengimplementasikan IEU-CEPA. Melalui perjanjian ini, Indonesia bisa masuk dalam rantai pasok global. “Berarti produk masuk, mendapatkan nilai lebih, dan keluar. Jadi, bukan hanya menjual produk akhir,” tandas dia.