Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Anindya Novyan Bakrie, menegaskan kesiapan Kadin Indonesia dalam mendukung langkah pemerintah merespons kebijakan tarif 32% dari Amerika Serikat (AS) dengan strategi diplomasi dagang dan penguatan ekspor nasional.
Hal ini disampaikannya dalam acara Halal Bihalal dan Forum Group Discussion Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) 2025 bertema “Tarif 32% AS: Tantangan dan Peluang Baru dalam Ekspor, Forwarding, dan Logistik Nasional”, yang digelar di Menara Kadin Indonesia lt 29, Jakarta Selatan, Jumat (25/04/2025).
Dalam forum tersebut, Anin sapaan akrabnya mengumumkan bahwa dirinya bersama delegasi Kadin Indonesia akan bertolak ke AS dengan tiga agenda utama, yaitu menghadiri konferensi transisi energi di New York, bertemu U.S. Chamber of Commerce di Washington DC, dan mengikuti seminar Milken Institute di Los Angeles yang berfokus pada isu keuangan bersama.
Anin mengatakan bahwa dalam pertemuan di Washington DC, Kadin Indonesia akan menjajaki peluang peningkatan ekspor Indonesia, serta mencari “lawan main” baru dalam upaya mencapai ekuilibrium dagang.
Menurut Anin, Indonesia saat ini mencatat surplus perdagangan sebesar 18 miliar dolar AS terhadap AS, dan salah satu strategi untuk menetralkan angka tersebut adalah dengan merelokasikan impor migas senilai 40 miliar dolar AS.
“Kami dengar-dengar sudah ada kurang lebih obatnya. Salah satunya dengan merelokasikan impor migas yang 40 miliar dolar AS,” kata Anin.
“Dengan langkah itu, diharapkan tercipta tarif yang pas dan pengembalian GSP (Generalized System of Preferences) ke level yang lebih kompetitif dibanding negara tetangga seperti Vietnam yang surplusnya mencapai 130 miliar dolar AS,” tambah Anin.
Kadin Indonesia, lanjut Anin, juga tengah mengupayakan peningkatan ekspor produk unggulan seperti elektronik, garmen, dan alas kaki.
Anin menambahkan, Indonesia memiliki potensi besar di sektor nontradisional, seperti daun kelor dan perikanan di Nusa Tenggara Timur, yang bisa langsung diekspor ke AS tanpa harus melalui negara lain.
Anin juga mengingatkan bahwa dalam waktu 60 hari ke depan, masa yang disebut sebagai “masa tenang”, Indonesia harus proaktif meningkatkan ekspor.
Di sisi lain, Anin mencatat bahwa AS juga tengah berupaya memperluas ekspor komoditasnya ke Indonesia, seperti kedelai, gandum, dan kapas.
Ia mencontohkan kunjungan delegasi Cotton US ke Indonesia baru-baru ini, yang menandakan ketertarikan mereka untuk memperluas pemakaian kapas AS dalam industri garmen nasional.
“Ternyata 2 hari yang lalu Cotton US sudah di sini. Mereka sudah ingin menanyakan bagaimana kapasnya bisa dipakai lebih supaya nanti garmen kita kalau masuk ke Amerika (Serikat) siapa tahu tarifnya rendah bahkan 0%. Jadi yang berpikir seperti ini bukan kita saja,” tutur Anin.
Mengenai relevansi isu ini dengan diskusi logistik, Anin menilai ALFI sebagai pihak yang memiliki data lengkap dan bagian penting dari rantai pasok nasional.
Menurutnya, Indonesia berpeluang menjadi pemenang dalam gelombang kebijakan perdagangan global baru, yang ia sebut sebagai “Trump 2.0”, setelah sebelumnya Vietnam dan Malaysia lebih unggul dalam periode “Trump 1.0”.
“Memang transisi satu setengah tahun ke depan tidak akan mudah, tapi jika ini adalah transisi untuk naik kelas, maka itu tidak masalah,” ujar Anin.
Anin juga menyampaikan bahwa Kadin Indonesia terus memperkuat sinergi dengan asosiasi dan Kadin provinsi. Menurutnya, dua pemegang saham utama Kadin Indonesia adalah Kadin Provinsi dan asosiasi seperti ALFI, yang menjadi ujung tombak penguatan industri dan logistik nasional.
Sementara itu, Wakil Menteri Perdagangan RI Dyah Roro Esti Widya Putri yang turut hadir dalam acara tersebut menambahkan bahwa 90 hari masa jeda tarif dari AS merupakan peluang yang harus dimaksimalkan.
“Kita tahu kemarin kan sempat diterapkan 32 persen tarif. Kemudian kembali lagi ke 10 persen. Dan itu menjadi pukul rata untuk mayoritas negara yang tidak bereaksi, dan Indonesia menjadi salah satunya. Namun tidak kalah penting adalah bagaimana kita juga menjaga hubungan dengan mitra dagang kita lainnya. Baik itu Amerika (Serikat) dan juga China,” kata Roro.
Lebih lanjut, Ketua Umum DPP ALFI, M. Akbar Djohan, menyampaikan bahwa kenaikan tarif dari AS semestinya menjadi momentum untuk mereformasi tata niaga impor dan penguatan logistik nasional.
Menurutnya, disrupsi rantai pasok harus dijadikan peluang untuk mempercepat efisiensi logistik, baik dalam konteks internasional maupun domestik.
“Ini adalah golden moment untuk mempercepat proses logistik nasional, agar menjadi tulang punggung kelancaran arus barang ekspor dan impor,” tandas Akbar.