Kadin Indonesia menyambut tahun 2025 dengan penuh optimisme. Kadin yakin pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka mampu memitigasi risiko dan membuat langkah-langkah terobosan untuk membawa perekonomian nasional ke arah yang lebih baik.
“Tahun 2025 adalah tahun yang penuh tantangan, tapi juga memiliki banyak peluang. Kami memilih untuk optimistis melihat ini semua,” kata Ketua Umum Kadin Indonesia, Anindya Novyan Bakrie saat menyampaikan opening remarks secara daring pada acara Kadin Global & Domestic Economic Outlook 2025, Senin (30/12/2024).
Menurut Anindya, tantangan yang akan dihadapi perekonomian nasional ke depan lebih banyak disebabkan faktor eksternal (global), terutama akibat geopolitik dan geoekonomi yang penuh ketidakpastian.
Kendati demikian, Ketum Kadin tetap yakin terhadap masa depan perekonomian domestik. Keyakinan itu tak lepas dari kepemimpian Presiden Prabowo Subianto.
Keyakinan itu makin kuat saat Anindya mendampingi Presiden Prabowo bersama sejumlah menteri Kabinet Merah Putih dalam lawatan dua pekan ke China, Amerika Serikat (AS), Peru, Brazil, dan Inggris. Dalam kunjungan kenegaraan itu, pemerintah mendapatkan komitmen investasi US$ 20 miliar. Ia menyaksikan sendiri kepiawaian Prabowo meyakinkan para investor agar berinvestasi di Indonesia.
“Selain itu, Pak Presiden berkomitmen menjunjung tinggi kepastian hukum, termasuk di bidang investasi. Kepastian hukum merupakan hal utama yang menjadi perhatian para investor,” ujar dia.
Anindya Bakrie meyakini ini semua bakal menjadi cikal bakal kebangkitan investasi yang amat dibutuhkan Indonesia. “Ini merupakan langkah awal yang baik sebagai momentum mendorong pertumbuhan ekonomi nasional ke depan,” tandas dia.
Anindya juga menaruh optimisme tinggi terhadap program-program prioritas yang dicanangkan Presiden Prabowo. Program unggulan, seperti makan bergizi gratis (MBG), hapus tagih kredit macet UMKM di bank BUMN, pembangunan 3 juta rumah per tahun, swasembada pangan, dan swasembada energi berpotensi menjadi mesin baru pertumbuhan ekonomi dengan daya dorong sangat kuat.
Dengan begitu pula, kata Anindya, angka kemiskinan dan pengangguran bisa ditekan signifikan. “Program-program unggulan pemerintah ini akan membuahkan hasil yang optimal dalam jangka menengah dan panjang, terutama menyangkut isu kemiskinan dan kelaparan,” tutur dia.
Anindya Bakrie juga mengapresiasi rencana Presiden Prabowo yang akan melakukan investasi jangka panjang di sektor pendidikan dan kesehatan. “Melalui langkah ini, daya saing SDM Indonesia akan meningkat,” tandas dia.
Anindya menekankan, Kadin Indonesia berkomitmen membantu pemerintah menjawab berbagai tantangan ekonomi ke depan, di antaranya dampak penaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%, penurunan daya beli masyarakat, dan isu pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.
Tugas Kadin, menurut Anindya, ada dua. Pertama adalah bekerja dengan konstituen, yaitu Kadin Provinsi dan seluruh perusahaan, termasuk BUMN dan koperasi, untuk bisa mengarungi berbagai tantangan yang dihadapi bangsa ini di bidang ekonomi, dengan baik.
“Kedua, yaitu menjadi mitra strategis yang baik bagi pemerintah untuk mendorong target pertumbuhan ekonomi 8% dan mengurangi kemiskinan ekstrem sampai 0%,” tutur dia.
Tantangan Ekonomi 2025
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Analisis Kebijakan Makro-Mikro Ekonomi, Aviliani mengatakan, berbagai tantangan ekonomi yang akan dihadapi Indonesia pada 2025 tidak lepas dari kondisi global dan kebijakan ekonomi yang diterapkan negara-negara maju.
Tantangan pertama yang akan dihadapi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto pada 2025, kata Aviliani, adalah menjaga stabilitas nilai tukar rupiah yang saat ini sudah berada di level Rp 16.000 per dolar AS.
Salah satu yang krusial, Amerika Serikat (AS) dan China akan mengeluarkan berbagai paket stimulus demi mendorong perekonomiannya. “China bahkan telah meluncurkan paket stimulus, baru-baru ini, yang kemungkinan bakal diikuti paket-paket stimulus berikutnya,” kata Aviliani dalam keynote speech-nya.
Dia menambahkan, paket insentif tersebut diterbitkan AS dan China demi menarik semakin banyak investasi asing ke negaranya. Hal tersebut bisa memengaruhi daya saing Indonesia di mata investor asing. Ujung-ujungnya, hal itu bisa menekan rupiah.
“Insentif yang ditawarkan AS dan China akan menarik besar-besaran modal investasi. Ini berkaitan erat dengan pergerakan nilai tukar. Kenapa? Karena otomatis investasi asing akan banyak keluar dari Indonesia. Kalau sekarang rupiah masih Rp 16.000 per dolar AS, mungkin nanti bisa di atas Rp 16.000,” papar Aviliani.
Tantangan kedua, menurut Aviliani, adalah pergerakan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI-Rate) dan suku bunga The Fed, Fed funds rate (FFR). Skenario penurunan BI-Rate untuk mengikuti penurunan FFR secara bertahap bisa kandas jika kurs rupiah terus melemah. Alih-alih turun, BI-Rate malah bisa naik lagi untuk membendung pelemahan rupiah akibat derasnya arus modal keluar (capital outflow).
“Suku bunga masih punya tantangan tersendiri untuk turun secara signifikan. Pengusaha harus pintar, bagaimana kalau bunga tinggi? Apa yang harus dilakukan? Investasinya seperti apa? Nah, ini yang perlu dipikirkan pengusaha,” ucap dia.
Tantangan selanjutnya, kata Aviliani, adalah kenaikan upah dan pemberlakuan tarif PPN 12% per 1 Januari 2025. Para pelaku industri harus membuat kalkulasi untuk mengukur dampak PPN 12% dan kenaikan upah terhadap beban biaya dan efisiensi usaha.
“Biasanya (kenaikan tarif PPN) ada hubungannya dengan penurunan cost, lewat efisiensi atau hal lain. Saya rasa ini juga satu hal yang akan terjadi pada 2025,” ujar dia.
Dia mengatakan, keterbatasan ruang fiskal atau menciutnya postur APBN juga menjadi salah satu tantangan tersendiri bagi pemerintahan Prabowo. Meski pemberlakuan PPN 12% berpotensi meningkatkan pendapatan hingga Rp 71 triliun, pada saat bersamaan pemerintah menghadapi sejumlah utang jatuh tempo.
“Dana ke daerah memang cukup besar untuk menggerakkan ekonomi di daerah, apalagi ada program makan bergizi gratis (MBG). Yang paling penting dari program ini adalah bagaimana governance-nya, sehingga tidak dikorupsi atau tidak diselewengkan, itu tantangannya,” tandas dia.
Pelajaran Berharga Masa Lalu
Sementara itu, Ketua Komtap Kajian Sektoral dan Pelaku Industri Kadin Indonesia, David E Sumual optimistis Indonesia di bawah pemerintahan Prabowo Subianto mampu mengejar target pertumbuhan ekonomi hingga 8% dalam jangka menengah-panjang.
“Untuk mengejar target tersebut, Presiden Prabowo perlu belajar dari sejumlah pengalaman kesalahan di masa lalu,” ujar dia.
Pengalaman pertama, kata David, adalah kesalahan kebijakan anggaran pemerintah Yunani pada 2010. Saat itu, pemerintah Yunani menerapkan kebijakan anggaran yang lebih besar pasak daripada tiang, dengan terus menerbitkan surat utang yang jumlahnya lebih besar dari pendapatan negara.
Saat itu, Yunani memiliki utang publik jauh melampaui ambang batas yang ditetapkan Uni Eropa, yakni maksimal 60% terhadap produk domestik bruto (PDB). Pada 2009, utang publik Yunani mencapai 130% PDB, sehingga negara itu mengalami gagal bayar (default).
Dengan menghindari kebijakan seperti Yunani, menurut David Sumual, pemerintah Indonesia akan mampu menjaga sentimen dan kepercayaan investor global. “Kalau napsu spend, spend, spend terus, tapi tidak ada liquidity-nya, tidak ada resources-nya, tentu bahaya,” tandas dia.
Pelajaran lain yang dapat diambil pemerintahan Prabowo adalah oleh kebijakan investasi China pasca-2019. “Pemerintah kita perlu meningkatkan return on investment. Kita mesti mengalokasikan investasi secara efisien dan terintegrasi dengan ekosistem ekonomi di dalam negeri. Untuk itu, pemerintah harus menurunkan ICOR dari saat ini 6-7 ke level 4, seperti India dan Vietnam,” ucap dia.
ICOR atau Incremental Capital Output Ratio adalah indikator untuk mengukur efisiensi investasi dalam menghasilkan output ekonomi. ICOR mengukur berapa banyak investasi tambahan yang dibutuhkan untuk menghasilkan tambahan satu unit output atau PDB.
David mengemukakan, hal lain yang harus diperhatikan pemerintahan Prabowo adalah melakukan inovasi dan modernisasi di setiap sektor untuk mendorong peningkatan kapasitas produksi. Langkah ini telah dilakukan Jepang dalam satu dekade terakhir, dengan memfasilitasi perusahaan yang kalah dalam persaingan usaha.
“Misalnya sektor tekstil. Kalau pakai alat konvensional, lama, mungkin 1 unit input dapatnya hanya 3. Tapi kalau alat-alatnya dimodernisasi, kita bisa dapat 5,” ujar dia.
Pengalaman berikutnya yang dapat ditiru pemerintahan Prabowo adalah cara Singapura melakukan industrialisasi berbasis ekspor. Cara China menguasasi suatu industri dari hulu hungga hilir juga dapat dijadikan contoh. “Misal sektor properti di China yang kini berkontribusi 22% terhadap PDB-nya, bahkan pernah 30%,” kata dia.
Sebelum mendorong sektor konstruksi dan propertinya, menurut David Sumual, China membenahi terlebih dahulu ekosistemnya, dari lampu, sanitari, hingga keramik, semua dipasok dari dalam negeri. “Kelebihan produksinya baru diekspor,” tandas ekonom BCA tersebut.
Ketahanan Pangan
Di pihak lain, Ketua Komisi Tetap (Komtap) Kajian Kebijakan Publik/Ketahanan Pangan Kadin Indonesia, Prof Hermanto Siregar mengatakan, pemerintah harus berupaya agar pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) tidak mengurangi ketersediaan komoditas pangan. Dengan demikian, program EBT dan swasembada pangan dapat berjalan beriringan.
“EBT berbahan baku pertanian tidak boleh atau jangan sampai bersifat trade-off terhadap ketahanan pangan,” ujar Hermanto dalam diskusi yang dipandu Kepala Kantor Komunikasi Kadin Indonesia/CEO Investortrust, Primus Dorimulus tersebut.
Hermanto menjelaskan, pemanfaatan tanaman pertanian untuk EBT menorehkan kekhawatiran karena penggunaan tanaman pangan untuk bahan baku EBT dapat memicu berkurangnya komoditas pangan. “Jadi, harus ada threshold pengembangan untuk EBT dari tanaman pertanian,” tutur dia.’
Prof Hermanto mengatakan, hasil perkebunan yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber EBT di antaranya kelapa sawit. Pengembangan sawit menjadi biodiesel merupakan salah satu program unggulan pemerintah guna mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar berbasis fosil.
Pengembangan komoditas pertanian dan perkebunan, menurut Hermanto, idealnya bersifat spesifik dan berbasis kewilayahan melalui kebijakan yang dibuat sesederhana mungkin. Berbagai komoditas, seperti gabah/padi, jagung, singkong, cabai, bawang, ayam, sapi, dan kelapa sawit bisa dikembangkan dengan memanfaatkan inclusive closed loop atau pendekatan berkelanjutan yang mencakup semua pihak terkait dan memastikan siklus penggunaan sumber daya terlaksana secara tertutup (closed loop).
“Sistem ini menekankan penggunaan kembali dan daur ulang sumber daya dalam proses produksi pertanian untuk meminimalkan limbah,” tutur dia.
Prof Hermanto Siregar mengemuakakan, pengembangan komoditas ini juga dapat dilaksanakan dengan dukungan pemanfaatan energi mikro hidro di berbagai wilayah. “Penerapan teknologi meminimalkan emisi gas rumah kaca dan polusi,” ujar dia.
Pemerintah, kata dia, perlu pula memberikan subsidi bagi pengembangan EBT di Tanah Air agar EBT dapat dimanfaatkan secara masif.
Ciri Khas Ekonomi
Di pihak lain, Waka Komtap I Kajian Sektoral dan Pelaku Industri Kadin Indonesia, Abdul Manap Pulungan mengemukakan, negara-negara yang ekonominya hendak tinggal landas (take-off) biasanya memiliki ciri khas atau keunikan (uniqueness) sebagai kekuatannya.
“India, misalnya, memosisikan diri sebagai pusat teknologi dunia, sedangkan China menjadi pusat manufaktur dunia. Nah, Indonesia belum punya kekhasan itu,” ujar dia.
Dia mengakui, Indonesia selama ini memosisikan sebagai pusat hilirisasi komoditas hasil tambang. “Anehnya, kita masih ekspor bahan mentah, sehingga tidak memperoleh nilai tambah ekonomi yang signifikan,” tutur dia.
Indonesia, menurut Abdul Manap, sebetulnya bisa memperkuat posisinya sebagai pusat hilirisasi dunia untuk komoditas tambang mineral, khususnya nikel.
“Hilirisasi adalah salah satu ciri khas ekonomi kita yang harus diperkuat. Tapi harus dipastikan bagaimana manajemen produksi, bahan baku, dan seterunya. Juga harus dipastikan bagaimana industrialisasinya, sehingga hilirisasi benar-benar terjadi dalam konteks lebih luas, yaitu industrialisasi,” tegas dia.
Indonesia, kata Abdul Manap Pulungan, akan memiliki bumper ekonomi yang kokoh jika berhasil melakukan hilirisasi tambang mineral sebagai ciri khas. Alhasil, fundamental ekonomi nasional akan lebih kuat sehingga negeri ini tidak lagi bergantung pada kekuatan ekonomi eksternal.
“Dengan kekuatan itu, kita ke depan bisa memaksimalkan kekuatan ekonomi dengan bertumpu pada konsumsi rumah tangga dan investasi. Tidak seperti sekarang, kalau global terjadi apa-apa, kita langsung kena. Itu terjadi karena kita tidak punya kekuatan domestik yang bisa digunakan untuk menghalau risiko global,” papar dia.
Abdul Manap mengakui, penaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% mulai awal 2025 akan memukul daya beli masyarakat. “Tadi sudah dikalkulasi, potensi penerimaan negara dari kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% hanya Rp 75 triliun, tetapi dampaknya terhadap daya beli masyarakat akan luar biasa,” tutur dia.
Itu sebabnya, dia menyarankan pemerintah membatalkan penaikan tarif PPN. “Kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap PDB itu kan sekitar 53%. Kalau yang 53% ini tidak dirawat, ekonomi kita tak akan bisa tumbuh sampai 8%,” tandas ekonom Indef tersebut.
Pelemahan daya beli, kata Abdul Manap, berkelindan langsung dengan kinerja industri manufaktur nasional. “Bila konsumsi rumah tangga menurun, industri akan melambat sehingga bakal terjadi PHK. Jadi, spiralnya akan panjang ketika tidak ada kebijakan yang melindungi daya beli masyarakat,” ujar dia.
Kredit Tumbuh 10-12%
Wakil Ketua Komtap II Kajian Ekonomi Global Strategis Kadin Indonesia, Josua Pardede memproyeksikan kredit perbankan tumbuh di kisaran 10-12% pada 2025.
Josua memperkirakan penyaluran kredit masih terkonsentrasi di sektor atau segmentasi korporasi. Segmen UMKM masih berjuang dengan rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) yang relatif tinggi. “Kinerja UMKM masih terpengaruh daya beli kelas menengah yang cenderung menurun,” ujar dia.
Ekonom Bank Permata itu mengungkapkan, masyarakat yang belum bisa mengakses perbankan (unbankable) masih banyak. Itu terjadi antara lain, akibat masih besarnya sektor informal di Tanah Air. “Namun ini menjadi potensi ke depan,” tutur dia.
Menurut Josua, untuk menjangkau sektor informal diperlukan literasi dan inklusi keuangan yang lebih dalam. “Jadi, perlu kolaborasi antara regulator dan pelaku keuangan atau industri jasa keuangan agar bisa meningkatkan literasi dan inklusi keuangan,” ujar dia.
Dia mengatakan, penyaluran kredit ke sektor informal dan padat karya perlu didorong. Hal ini pun sejalan dengan Kebijakan Likuiditas Makroprudensial (KLM) BI yang akan fokus pada perumahan dan UMKM serta industri padat karya.
Josua juga menyoroti potensi besar ekonomi bawah tanah alias underground economy Indonesia yang belum tergali secara maksimal untuk menghasilkan penerimaan negara. “Dibandingkan penerimaan dari PPN, sebenarnya underground economy ini lebih besar potensinya,” tegas dia.
Menurut dia, potensi penerimaan perpajakan dari ekonomi bawah tanah Indonesia dapat mencapai 8% hingga 18% PDB. “Pemerintah perlu mengeksplorasi potensi ekonomi bawah tanah Indonesia agar menambah penerimaan perpajakan, sehingga potensi penerimaan perpajakan kita bisa lebih sustainable lagi,” ucap dia.
Josua pun menyoroti masih banyaknya sektor informal yang memperumit identifikasi wajib pajak (WP) sehingga rasio perpajakan Indonesia lebih rendah dari negara-negara tetangga.
Selain itu, dia mendorong supaya pemerintah lebih masif menerapkan pengurangan pajak riset (super tax deduction) untuk industri. Super tax deduction bisa meningkatkan produktivitas pelaku industri. ***